Wangsa Sailendra
Wangsa Sailendra atau Syailendra (Śailendravamśa) adalah nama wangsa atau dinasti raja-raja yang berkuasa di Sriwijaya, pulau Sumatera; dan di Mdaŋ (Kerajaan Medang), Jawa Tengah sejak tahun 752. Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Buddha Mahayana. Meskipun peninggalan dan manifestasi wangsa ini kebanyakan terdapat di dataran Kedu,
Jawa Tengah, asal usul wangsa ini masih diperdebatkan. Disamping
berasal dari Jawa, daerah lain seperti Sumatera atau bahkan India dan
Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini.
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (
Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (
dharmmatuńgadewasyaśailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi (
selendranamah) dan prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.
Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh
beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan
arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga
Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari Funan.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga
(India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta
Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari
India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya.
Teori Funan
George Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja).
Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan,
kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai
penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan
nama keluarga Śailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena
beberapa prasasti dan catatan sejarah menyatakan bahwa sebelum bermukim
di Jawa, keluarga Sailendra telah bermukim turun-temurun di Sumatera.
Teori Nusantara
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau
Sumatera atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan
bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian
berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa
tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatera
yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke
tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan
Ho-ling di Jawa.. Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur
yang mencanangkan ekspansi atas Bhumi Jawa yang tidak mau berbhakti
kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan
gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama
Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuna.
Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto
itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama
ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra
namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma
nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah
bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama
Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta
Śailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuna.
Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan
tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya.
Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto
telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta
Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari
sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah
raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama
Śiwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha
Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan
yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban
atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya
(aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai
Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Saiwa menjadi Buddha
Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).
Kemudian Prasasti Canggal
menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga
untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya
memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara
perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan
Sañjaya.
Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal
telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu
Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di
Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan
dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau
Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta
sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta
Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun.
Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka
setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta
Selendra.
Dalam Carita Parahiyangan
disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia
memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang
Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu,
dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi.
Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka
keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada dibawah
pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan
sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan bahasa Bahasa Melayu Kuna pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran
Dapunta
menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya,
dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka
adalah
vasal atau raja bawahan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal
ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.
Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan
Ho-ling yang disebut
She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu
Hsi-mo
(Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini
merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka
diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta
Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak
(703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746
Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Candi Kalasan sebagai tempat pemujaan Dewi Tara.
Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh Bosch.
Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa Sailendra cukup dominan
di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada
di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan
kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi
kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka
menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama
yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu
kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan
keturunannya adalah anggota Sailendra juga. Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas Prasasti Sojomerto bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad
ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa
Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya
terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M) Sanjaya memang mendirikan Shivalingga baru (Candi Gunung Wukir),
artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja
Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai
diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya
Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan
Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun kraton baru di
Mdang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa
bahwa kraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki
musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat
lain untuk membangun kraton baru. Hal ini serupa dengan zaman kemudian
pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah
diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat
pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini
sama dengan Airlangga pada zaman kemudian yang membangun kerajaan baru,
tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu,
kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota wangsa Isyana. Maka
disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap
merupakan kelanjutan dari wangsa Sailendra yang menurut prasasti
Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.
Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva
wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla
(Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa
tahun.
Candi Borobudur
selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi
salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan
Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa.
Balaputra kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa
di Medang, wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.
Runtuhnya Wangsa Sailendra
Berapa sejarawan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra
di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke
Sriwijaya (Sumatera). Selama ini sejarawan seperti Dr. Bosch dan Munoz
menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling
bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut
Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran
Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan
keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan
rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor
terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah. Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya.
Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa,
yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa
Sailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan
diri ke
Suwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah
terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir
pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan
bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan
akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang. Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung Pulasari, Banten Girang.
Sementara itu, sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya
bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan
Sanjayavamça dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap
masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun
kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9
Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet Muljana
yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik
takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan
Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan;
bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari
pertengahan abad ke-7 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto),
hingga awal abad ke-11 masehi (jatuhnya wangsa Sailendra di Sriwijaya
akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu,
wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatra.
Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya
dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan
wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di
Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatera.
Daftar raja-raja
Beberapa sejarawan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar
silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak
sepakat. Misalnya, Slamet Muljana, meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya
juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun
tahap awal perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas
Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja
penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan
hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta
penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena nampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; Kalingga, Medang, dan Sriwijaya.
Akibatnya nama beberapa raja nampak tumpang tindih dan berkuasa di
kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan
keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit
ditemukan dan belum jelas terungkap.
sekitar 650 |
Santanu |
? |
Prasasti Sojomerto (sekitar 670—700) |
Sebuah keluarga beragama Siwa berbahasa Melayu kuno
mulai bermukim di pesisir utara Jawa Tengah, diduga berasal dari
Sumatera (?) atau asli dari Jawa tapi di bawah pengaruh Sriwijaya (raja
bawahan) |
sekitar 674 |
Dapunta Selendra |
Batang (pantai utara Jawa Tengah) |
Prasasti Sojomerto (sekitar 670—700) |
Dimulainya wangsa keluarga penguasa, pertama kalinya nama 'Selendra' (Sailendra) disebutkan |
674—703 |
Shima (?) |
Kalingga, di antara Pekalongan dan Jepara |
Carita Parahyangan, Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu Hwi-ning di Ho-ling (664) dan pemerintahan Ratu Hsi-mo (674) |
Menguasai kerajaan Kalingga |
703—710 |
Mandimiñak (?) |
? |
Carita Parahyangan |
|
710—717 |
Sanna |
? |
Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan |
Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh
dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar |
717—760 |
Sanjaya |
Mataram, Jawa Tengah |
Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan |
Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan,
mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarawan lama menafsirkannya
sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra |
760—775 |
Rakai Panangkaran |
Mataram, Jawa Tengah |
Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778), Carita Parahyangan |
Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Buddha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan |
775—800 |
Dharanindra |
Mataram, Jawa Tengah |
Prasasti Kelurak (782), Prasasti Ligor B (sekitar 787) |
Juga berkuasa di Sriwijaya (Sumatera), membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790) |
800—812 |
Samaragrawira |
Mataram, Jawa Tengah |
Prasasti Ligor B (sekitar 787) |
Juga berkuasa di Sriwijaya, Kamboja memerdekakan diri (802) |
812—833 |
Samaratungga |
Mataram, Jawa Tengah |
Prasasti Karangtengah (824) |
Juga berkuasa di Sriwijaya, merampungkan Borobudur (825) |
833—856 |
Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan |
Mamrati, Jawa Tengah |
Prasasti Siwagrha (856) |
Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatera (Sriwijaya). Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan. Para raja Medang penerus Pikatan, mulai dari Dyah Lokapala (850—890) hingga Wawa (924—929) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun Dyah Balitung (898—910) dalam Prasasti Mantyasih (907) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori Wangsa Sanjaya. |
833—850 |
Balaputradewa |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Prasasti Siwagrha (856), Prasasti Nalanda (860) |
Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di Sriwijaya, mengaku dirinya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India) |
sekitar 960 |
Çri Udayadityavarman |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Utusan ke Tiongkok (960 dan 962) |
Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok |
sekitar 980 |
Haji (Hia-Tche) |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Utusan ke Tiongkok (980–983) |
Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok |
sekitar 988 |
Sri Culamanivarmadeva |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044) |
Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa Dharmawangsa menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I |
sekitar 1008 |
Sri Maravijayottungga |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Utusan ke Tiongkok (1008) |
Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008) |
sekitar 1017 |
Sumatrabhumi |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Utusan ke Tiongkok(1017) |
Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017) |
sekitar 1025 |
Sangramavijayottungga |
Sriwijaya, Sumatera Selatan |
Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore |
Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh Rajendra Chola |